√ Analisis Film Hotel Rwanda

Analisis Film Hotel Rwanda

analisis-film-hotel-rwanda-perspektif-sosiologi-etnisitasAnalisis Film Hotel Rwanda

Amaterasublog.com - Pada postingan kali ini saya akan membahas tentang Analisis Film Hotel Rwanda berdasarkan pada Perspektif Sosiologi Etnisitas. Langsung saja yuk! simak atikel ini sampai selesai.

Tentang Film Hotel Rwanda

Hotel Rwanda adalah film tahun 2004 yang disutradarai oleh Terry George. Film ini berdasarkan sebuah kejadian nyata mengenai kejahatan genosida yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 berdasarkan sudut pandang seorang petugas hotel, Paul Rusesabagina (diperankan oleh Don Cheadle), yang berupaya menyelamatkan rekan-rekan sebangsanya dari Genosida Rwanda. Film ini juga disebut sebagai Schindler's List versi Afrika.

Film Hotel Rwanda merupakan film yang menggambarkan konflik antar etnis di Rwanda (antara etnis Hutu dan Tutsi). Di Rwanda pada tahun 1994, Film yang menggambarkan tentang masyarakat yang tidak menghargai perbedaan antar suku. Ceritanya adalah kisah perjuangan Paul Rusesabagina (Don Cheadle) manajer hotel desMilleCollines di Kigali, yang menyelamatkan 1000-an nyawa dalam konflik genocide di Rwanda. Dia menggunakan pengaruhnya sebagai manajer hotel terbesar di Rwanda, etnis Hutu-nya, dan pertemanan nya dengan beberapa tokoh etnis Hutu dalam menolong orang-orang termasuk istrinya yang berasal dari suku Tutsi, Tutsilah yang menjadi korban etnis hutu.

Paul yang bisa dibilang sebagai pahlawan dalam film ini, Paul jarang sekali dan mungkin tak akan dilakukan banyak orang di tengah kemelut dan bahaya yang tentu lebih memilih menyelamatkan dirinya sendiri berawal saat konflik antara Tutsi dan Hutu berubah menjadi suasana memanas. Perdamaian yang digelar dengan yang menjadi penengah antara PBB dan Hutu justru memanfaatkan momen tersebut untuk membunuh Presiden Habyarimana yang sebelumnya telah menandatangani perjanjian damai. Setelah terbunuhnya presiden Habyarimana kelompok Hutu pun memberontak dan merencanakan negosiasi atas kelompok Tutsi. Gambaran dalam film menceritakan suasana Rwanda yang sangat mencekam, ketika itu semua orang diwajibkan untuk membawa KTP sebagai identitas suku masing-masing. Setiap orang yang memegang KTP Tutsi akan langsung disiksa, diperkosa bahkan dibunuh oleh mereka.

Saat itu kota Rwanda benar-benar mencekam, semua orang yang memegang KTP Tutsi akan langsung disiksa, diperkosa, dan berakhir dengan kematian. Keadaan tersebut membuat Rwanda siaga satu. Turis asing panik, warga Tutsi yang ketakutan banyak mengungsi ke hotel yang dijaga pasukan PBB.

Di tengah-tengah krisis, Paul diminta untuk menghibur dan menenangkan penghuni hotel, dan juga terpanggil menyelamatkan nyawa ribuan warga Tutsi. Paul juga harus menyelamatkan istrinya yang merupakan keturunan Tutsi, dan juga beberapa tetangganya. Berhasil menyelamatkan tetangga dan istrinya, Paul dihadapkan pada ribuan pengungsi yang memohon pada Paul untuk diizinkan tinggal di hotel, tempat yang dinilai warga Tutsi sebagai tempat teraman untuk menyelamatkan nyawa mereka.

Dalam review film ini saya akan akan menunjukkan bagaimana politisasi identitas, khususnya politisasi etnisitas Hutu dan Tutsi di Rwanda dapat mengakibatkan terjadinya ethnic cleansing oleh Hutu terhadap Tutsi. Untuk melakukannya, review film ini saya akan membahas tentang bagaimana terjadinya politisasi etnisitas yang terjadi di Rwanda.

Konflik Etnis di Rwanda
Scene Film Hotel Rwanda

Analisis Etnisitas Film Hotel Rwanda

1. Pengertian Etnisitas

Etnisitas adalah sebuah istilah yang semakin banyak digunakan sejak tahun 1960-an untuk menyebut jenis-jenis manusia dipandang dari segi budaya, tradisi, bahasa, pola-pola sosial serta keturunan, dan bukan generalisasi ras yang didiskreditkan dengan pengandaiannya tentang umat manusia yang terbagi ke dalam jenis-jenis biologis yang ditentukan secara genetik. Etnisitas merujuk kepada penyatuan banyak ciri yang menjadi sifat-dasar dari suatu kelompok etnis: gabungan dari loyalitas, memori, sejenis kesadaran, pengalaman, perilaku, selera, norma-norma, kepercayaan, dan nilai-nilai bersama (Schermerhorn 1974 dalam Aisha Rasyidila, 2011)

Sedangkan Daldjoeni (1991, h.32) menyatakan bahwa istilah etnisitas sebagai istilah ras, digunakan untuk membedakan suku-suku dalam suatu nation. Ras sendiri adalah sekelompok manusia yang memiliki ciri-ciri fisik tertentu yang diperoleh dari keturunan yang sesuai hukum genetika, tetapi masih memungkinkan adanya variasi antar individu.

Kelompok etnis seseorang adalah sebuah penanda yang begitu kuat, karena meskipun ia memilih untuk berada di dalamnya, kelompok etnis adalah sebuah identitas yang tidak dapat disangkal, ditolak, atau direnggut oleh pihak lain. Apabila ras muncul sebagai sebuah cara untuk mengidentifikasi orang berdasarkan kriteria genetik yang tetap, maka etnisitas biasanya digunakan sebagai sebuah ekspresi dari persepsi-diri yang positif, yang memberikan manfaat tertentu bagi anggotanya. Keanggotaan dari sebuah kelompok etnis didasarkan pada kriteria tertentu yang disepakati, meskipun sifat-dasar, kombinasi dan signifikansi dari kriteria tersebut dapat diperdebatkan atau dapat berubah kapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa konsep etnisitas dapat dikonstruksikan oleh aktor tertentu.

Istilah etnisitas cenderung digunakan untuk memberikan pemaknaan yang bersifat peyoratif. Dalam penggunaannya yang paling awal dalam bahasa Inggris, istilah ‘etnis’ merujuk ke bangsa-bangsa ‘kafir’ yang berbeda secara kultural. Beberapa penggunaan kontemporer dari istilah itu mengidentifikasi etnisitas dengan kelompok-kelompok nasional di Eropa, dimana dengan beberapa pengecualian, seperti kaum Basque, hubungan antara etnisitas dan kebangsaan tampak telah dibenarkan. Penggunaan pertama dari kelompok etnis dalam kaitannya dengan asal kebangsaan berkembang pada era migrasi besar-besaran dari bangsa-bangsa Eropa Timur dan Selatan ke AS di awal abad ke-20. Nama, yang dengan mana sebuah kelompok etnis memahami dirinya sendiri, kebanyakan masih berupa nama dari bangsa asal, terlepas dari apakah bangsa itu masih ada atau tidak.

Meskipun demikian, istilah ‘etnisitas’ benar-benar hanya beredar luas ketika kelompok-kelompok ‘nasional’ ini menemukan diri mereka sendiri sebagai minoritas dalam sebuah pengelompokan nasional yang lebih besar, seperti yang terjadi sebagai buntut dari kolonisasi, baik itu melalui imigrasi ke daerah-daerah jajahan yang telah ditempati seperti AS, Kanada, Australia, Selandia Baru, atau dengan migrasi orang-orang daerah terjajah ke negara-negara penjajah di pusat. Satu konsekuensi lebih lanjut dari perpindahan ini adalah bahwa bangsa-bangsa Eropa yang lebih tua tidak lagi dapat mengklaim hanya terdiri dari satu kelompok etnis tertentu, tetapi bersifat heterogen dan, sesuai dengan perjalanan waktu, terdiri dari campuran kelompok-kelompok imigran yang terhibridasi.

Satu ciri dari penggunaan istilah tersebut adalah bahwa elemen marjinalisasi yang terlihat jelas dalam penggunaan awal istilah ‘etnis’ seringkali masih tampak terimplikasi dalam penggunaan kontemporernya. Apabila pada mulanya istilah itu merujuk ke bangsa-bangsa kafir atau juga merujuk pada orang-orang barbarian, maka sekarang istilah tersebut bermakna kelompok-kelompok yang tidak mainstream, kelompok-kelompok yang secara tradisional tidak terhubung dengan mitologi nasional yang dominan. Jadi, di koloni-koloni hunian dari Kerajaan Inggris, kelompok Anglo-Saxon yang dominan biasanya tidak dilihat sebagai sebuah kelompok etnis karena etnisitasnya sudah mengkonstruksi mitologi identitas nasional. Identifikasi yang seperti itu tidak hanya terbatas pada pengalaman kolonial, tetapi memang mengungkap sifat-dasar ‘imperialistik’ dari mitologi nasional, serta implikasi politik dari hubungan apa pun antara etnisitas dan bangsa.

2. Konflik Etnis di Rwanda

Republik Rwanda adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi dan Tanzania. Negeri ini juga dikenal sebagai “negeri seribu bukit” karena memang kondisi geografisnya yang terdiri dari banyak bukit dan merupakan wilayah yang subur.

Masyarakat Rwanda didominasi oleh dua etnis besar yaitu Hutu dan Tutsi. Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu dianggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek.

Perbedaan utama antara keduanya adalah etnis Tutsi dianggap sebagai etnis yang lebih mapan dan lebih tinggi status sosialnya karena etnis Tutsi memiliki kerajaannya sendiri di tanah Rwanda. Mereka yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga kerajaan pada dasarnya sudah dapat dikategorikan ke dalam bagian dari etnis Tutsi. Penduduk setempat yang tidak memiliki kedekatan dengan orang-orang kerajaan di pihak lain hanya dapat berprofesi sebagai petani dan pekerja kasar. Golongan profesi inilah yang didominasi oleh etnis Hutu.

Pada 1894 Rwanda menjadi jajahan Jerman. Namun Jerman tidak membubarkan kerajaan milik orang-orang Tutsi. Jerman membiarkan kerajaan mereka berdiri selama mereka mau tunduk terhadap orang-orang Jerman dan membiarkan Jerman menempatkan penasehatnya disana. Namun pasca-kekalahan Jerman pada Perang Dunia I, Rwanda menjadi daerah Jajahan Belgia sejak tahun 1918. Semenjak Belgia berkuasa inilah perbedaan antara etnis Hutu dan Tutsi Semakin menonjol. Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan dari pada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekerja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini.

Pemerintah Belgia juga melakukan sensus dan menambahkan kolom etnis dalam kartu tanda penduduk setempat untuk membedakan orang Hutu dengan Tutsi. Dengan adanya kebijakan ini, orang-orang Hutu-pun menjadi semakin sulit untuk menempati posisi-posisi elit dalam birokrasi. Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, keirihatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar.

3. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  • Film Hotel Rwanda ternyata diangkat dari kisah nyata, yakni tentang peristiwa berdarah yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 dan merupakan salah satu peristiwa genosida terbesar di dunia.
  • Masalah etnsitas merupakan faktor utama penyabab konflik di Rwanda.

Konflik yang terjadi antara etnis Hutu dan Tutsi ini bukan disebabkan oleh faktor material semata, namun lebih kepada adanya politisasi etnisitas yang berperan penting dalam memicu dan memperkeruh konflik. Ketika masuk ke ranah politik, keragaman etnis ini justru banyak dipandang sebagai salah satu perbedaan negatif yang dimana menyebabkan terjadinya kesenjangan dan persaingan. Tindakan politisasi etnisitas yang dilakukan oleh sekelompok orang-orang yang memiliki kepentingan untuk berkuasa dapat menimbulkan peristiwa berdarah seperti genosida di Rwanda.

Demikianlah ulasan artikel tentang Analisis Etnisitas Film Hotel Rwanda, semoga bermanfaat!

Berlangganan Artikel Gratis :

Tampilkan Komentar
Sembunyikan

( 12 ) Komentar untuk "Analisis Film Hotel Rwanda"

  1. Sebuah ulasan yang sangat menarik. Keep spirit in writing man !!

    BalasHapus
  2. Dilihat dari tulisan ini film nya sepetinya menarik

    BalasHapus
  3. Langsung otw cari film nya biar g makin penasaran

    BalasHapus
  4. Seru juga yah film nya,, apalagi menceritakan tentang sejarah, jadi kepengen nonton full filmnya nih

    BalasHapus
  5. Baru baca sinopsis dan reviewnya aja aku udah merinding banget bayanginnya apalagi ini didasarkan oleh kisah nyata yang berarti emang pernah bener-bener terjadi. Miris banget sih bayangin orang-orang itu disiksa, diperkosa dan bahkan sampe jadi peristiwa genosida terbesar.
    Menarik banget saran filmnya nih, sudah cukup lama juga ya filmnya semoga masih mudah dicari untuk ditonton nih

    BalasHapus
  6. Memang enggak habis-habisnya kalau ngomongin soal diskriminasi, strata sosial, dan sejenisnya. Deep banget filmnya.. Kadang kalau liat film-film begini apalagi diambil dari kisah nyata jadi merasa bersyukur tinggal di Indonesia di masa sekarang, meski dengan banyak kekurangannya :(

    BalasHapus
  7. Semoga kedepannya Indonesia juga punya film seperti ini, yaitu tentang kerusuhan pada Mei 1998 yang juga termasuk genosida..

    Nice post!

    BalasHapus
  8. Menarik sekali jika nonton film yg diadaptasi dari kisah nyata. Kita seolah-olah ikut berperan di dalamnya. Ternyata bukan cuma di Bosnia saja genosida terjadi, Rwanda pun mengalaminya.

    BalasHapus
  9. Wahh mauu nonton juga aahhh <3 ini ratenya juga tinggi kata suamikk

    BalasHapus